Mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, disebut tidak hanya dapat mengandalkan modal sosial seperti popularitas dan dukungan masyarakat untuk mendirikan partai politik (parpol) yang dapat eksis dan berpengaruh di politik Indonesia.
Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiarti, mengatakan Anies harus memiliki dukungan keuangan yang berlimpah agar partainya dapat mengambil peran dalam praktik politik Indonesia yang ‘mahal’.
“Modal sosial penting untuk menarik perhatian publik, namun modal finansial juga sangat penting untuk menggerakkan partai karena praktik politik di Indonesia itu terbukti mahal,” kata Aisah kepada BBC News Indonesia, Selasa (03/09).
Sebelumnya, Anies Baswedan mengatakan berencana untuk mendirikan parpol usai gagal mengikuti kontestasi Pilkada 2024. Salah satu alasannya adalah rasa kekecewaan Anies dengan kondisi parpol yang dia sebut “tersandera oleh kekuasaan”.
Rasa kekecewaan yang kemudian berujung pada keinginan untuk membentuk partai politik, seperti yang diwacanakan Anies, bukan kali pertama terjadi.
Sebelumnya, Surya Paloh mengaku kecewa dengan Golkar dan kemudian mendirikan Partai Nasdem. Begitu juga dengan Prabowo Subianto yang keluar dari Partai Golkar.
Pola ini, menurut pengamat politik dari Universitas Indonesia, Cecep Hidayat, membentuk situasi yang akhirnya membuat partai yang didirikan oleh politisi itu cenderung dimiliki atau dikuasai oleh orang atau kelompok tertentu.
“Terjadi personifikasi di partai. Partai didirikan oleh tokoh-tokoh yang punya pengaruh dan akhirnya partai menjadi sangat terasosiasi dengan mereka,” kata Cecep.
BBC News Indonesia telah menghubungi juru bicara Anies Baswedan, Angga Putra Fidrian, terkait dengan wacana membentuk parpol itu, namun hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan.
‘Tersanderanya partai oleh kekuasaan‘
Dalam video yang telah ditonton hampir 500.000 kali, Anies memberikan respons usai dirinya gagal mengikuti kontestasi Pilkada 2024.
Salah satunya, Anies mengkritik kondisi parpol yang kini dia sebut “tersandera oleh kekuasaan”.
“Ada yang usul supaya saya masuk partai atau bikin partai politik. Kalau masuk partai pertanyannya partai mana yang sekarang tidak tersandera oleh kekuasaan?”.
“Jangankan dimasuki mencalonkan saja terancam, Agak berisiko juga bagi yang mengusulkan. Ini adalah sebuah kenyataan,” kata Anies dalam sebuah video berjudul ‘Catatan Anies Pasca Pilpres dan Pendaftaran Pilkada 2024’ yang tayang di akun YouTube-nya, @aniesbaswedan, Jumat (30/8).
Melihat kondisi parpol itu, Anies pun berkata ingin membangun ormas atau partai baru.
”Kita lihat saja ke depannya, apakah lalu akan buat partai politik baru? Bila untuk mengumpulkan semua semangat perubahan yang sekarang makin hari makin terasa besar dan itu menjadi sebuah kekuatan, diperlukan menjadi gerakan, maka membangun ormas atau membangun partai baru mungkin itu jalan yang akan kami tempuh,” kata Anies.
”Kita lihat sama-sama ke depan. Semoga tidak terlalu lama lagi kita bisa mewujudkan langkah-langkah konkrit untuk bisa mewadahi gerakan yang sekarang ini makin hari semakin besar, menginginkan Indonesia yang lebih setara, demokrasi yang lebih sehat, politik yang lebih mengedepankan policy gagasan,” tambahnya.
Pernyataan Anies ini mendapat beragam respons dari partai politik.
Waketum Golkar, Ace Hasan Syadzily, mendukung upaya Anies tersebut. Namun dia menekankan, “jangan hanya mau mendapatkan kekuasaannya, tetapi mengelola partainya tidak mau”.
“Jadi sebaiknya, menurut saya ya, kita kembalikan itu hak siapa pun untuk mendirikan parpol,” kata dia.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga mengatakan menghormati dan sempat memberikan masukan terkait langkah Anies mendirikan partai.
“Walaupun nanti Beliau membuat partai politik kita hormati, Beliau membuat ormas kita hormati. Dan PKS terbiasa bekerja sama dengan beragam partai politik, beragam ormas,” kata Wakil Ketua Majelis Syura PKS Hidayat Nur Wahid.
Apa syarat pembentukan partai politik dan berpartisipasi dalam pemilu?
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dijelaskan bahwa ”partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Pasal 2 UU tersebut menyebutkan:
- Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi;
- Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri Partai Politik dengan akta notaris;
- Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota Partai Politik lain;
- Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan;
- Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat.
Setelah itu, parpol kemudian didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk menjadi badan hukum.
Namun, jika parpol ingin menjadi peserta pemilu, terdapat beberapa syarat yang harus kemudian dilengkapi.
Berdasarkan Pasal 173 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
- Berstatus badan hukum sesuai dengan undang-undang tentang Partai Politik;
- Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
- Memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
- Memiliki kepengurusan jumlah kecamatan 50% kabupaten/kota yang bersangkutan;
- Menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
- Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
- Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
- Mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan
- Menyerahkan nomor rekening dana kampanye pemilu atas nama partai politik kepada KPU.
‘Mendirikan partai tak sulit, yang berat itu jadi peserta pemilu dan lolos DPR’
Pengamat politik dari BRIN, Aisah Putri Budiarti, menjelaskan syarat untuk membentuk parpol tidak terlalu sulit. Aisah mengatakan, Anies dan setiap masyarakat dapat melakukannya.
Menurutnya, tahap yang sulit adalah menjadikan partai itu menjadi peserta pemilu.
Aisah merujuk pada syarat kepengurusan dari tingkat provinsi, kabupaten/kota hingga kecamatan.
“Syarat untuk menjadi partai peserta pemilu tidak mudah. Dalam situasi itu, modal finansial yang paling utama, yang sangat signifikan,” kata Aisah.
Namun tantangan tidak berhenti di situ. Tahap selanjutnya, parpol harus bersaing untuk lolos ambang batas parlemen sebesar 4% untuk bisa masuk di DPR.
“Dari penyelenggaraan pileg beberapa tahun belakang ini, sedikit partai baru yang berhasil masuk ke DPR RI, sangat sulit ditembus, bahkan partai lama saja harus tergusur, seperti PPP,” kata Aisah.
“Akhirnya beberapa parpol baru hanya bisa di level lokal saja, bahkan ada yang gagal sama sekali.”
Modal apa yang menentukan partai lolos parlemen atau tidak?
Aisah melanjutkan terdapat dua modal penting yang perlu dimiliki partai untuk dapat menjadi peserta pemilu dan bahkan lolos ke parlemen.
Modal pertama adalah modal sosial, yaitu memiliki tokoh kunci di dalam partai yang bisa menarik dukungan dari masyarakat.
“Modal sosial penting untuk menarik perhatian publik, menarik dukungan massa. Dan membangun daya kompetisi di pemilu dan pilkada,“ kata Aisah.
Dia mencontohkan Partai Gerindra yang memiliki sosok Prabowo Subianto, Partai Demokrat yang kuat dengan ketokohan Presiden Indonesia keenam Susilo Bambang Yudhoyono, dan juga Partai NasDem dengan sosok Surya Paloh.
“Anies memiliki modal sosial yang kuat, punya basis massa dan pendukung walaupun bukan kader partai tertentu,“ katanya.
Aisah mengatakan, berdasarkan hasil Pilpres 2024 lalu, pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar mendapatkan sekitar 40,9 juta suara atau 24,9%.
Tapi, kata Aisah, modal sosial saja tidak cukup.
Dia melihat parpol juga harus memiliki dukungan keuangan yang berlimpah agar partainya dapat mengambil peran dalam sistem politik Indonesia yang ‘mahal’.
“Modal sosial penting untuk menarik perhatian publik, namun modal finansial juga sangat penting untuk menggerakkan partai karena sistem politik Indonesia di itu mahal,” ujarnya.
“Jadi partai-partai yang muncul usai reformasi dan berhasil adalah yang punya modal sosial dan modal finansial.”
Aisah mencontohkan partai-partai baru—muncul pasca-reformasi—yang mampu masuk ke parlemen dan memiliki kedua modal tersebut, yaitu Gerindra, Nasdem, dan Demokrat.
‘Parpol terasosiasi dengan individu tertentu’
Rasa kekecewaan dalam praktik politik di Indonesia yang kemudian berujung pada keinginan untuk membentuk partai politik—seperti yang diwacanakan Anies—bukan kali pertama.
Rasa kekecewaan menjadi alasan Surya Paloh meninggalkan Partai Golkar dan mendirikan Partai Nasdem.
“Kenapa saya meninggalkan partai lama yaitu Golkar, dan kenapa harus membangun partai baru? Jelas karena saya memiliki kekecewaan,” kata Paloh.
Kemudian, Partai Demokrat didirikan oleh SBY pascakekalahannya pada pemilihan calon wakil presiden dalam Sidang MPR pada 2001.
Serupa, rasa kekecewaan juga menjadi salah satu alasan Prabowo Subianto keluar dari Partai Golkar pada 2008 dan mendirikan Partai Gerindra.
“Awalnya saya di Golkar, Golkar sudah dipegang pengusaha modal besar, mental-mental uang,” kata Prabowo.
Pola ini, kata Cecep, kemudian membentuk situasi di mana akhirnya partai cenderung dikuasai oleh para pendirinya.
“Terjadi personifikasi di partai. Partai didirikan oleh tokoh-tokoh yang punya pengaruh dan akhirnya partai menjadi sangat terasosiasi dengan mereka,” kata Cecep.
Dampaknya, kata Cecep, para ‘pemilik’ partai tersebut memiliki kekuasaan dalam menentukan struktur hingga kebijakan strategis partai.
”Ketika ada orang-orang yang membutuhkan kendaraan politik tapi parpol sudah ada ‘pemiliknya atau pendirinya’ maka itu menjadi alasan buat orang-orang kemudian keluar dan mendirikan partai politik.”
“Pola ini akan terus berulang jika tidak ada suksesi kepemimpinan hingga kaderisasi dalam parpol.”