Jakarta – Perang baliho para politikus semakin marak, mulai Ketua DPR Puan Maharani, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, hingga Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Lantas apakah pemasangan baliho masih efektif untuk meningkatkan popularitas?
Poster atau baliho besar AHY Siap, menghiaji jalan Gatsu Jakarta Rabu (25/7/2018). Foto: dikhy sasra
Pakar komunikasi UI Firman Kurniawan Sujono mengatakan memang baliho memiliki keunggulan tersendiri. Apalagi di tempat strategis yang banyak orang berlalu lalang, baliho akan menjadi pusat perhatian publik.
“Secara umum billboard/baliho/media luar ruang memiliki keunggulan: mudah dilihat, karena diletakkan di jalan-jalan yang terbukti banyak dilalui kendaraan. Ukurannya yang besar, secara struktural ‘memaksa’ orang untuk melihatnya. Apalagi kalau diletakkan di kawasan yang strategis, pasti tak terhindarkan, orang lewat tak bisa mengelak,” kata Firman kepada wartawan, Rabu (4/8/2021) malam.
“Selain itu, pada ukurannya yang ekstrabesar, biasanya pesan yang dimuat tak banyak. Karena waktu yang singkat, orang untuk melalui jalanan. Sehingga pesan akan sistematis dan fokus. Dalam keadaan jumlahnya tak berlebihan, di jalan tempat memasang baliho, alat komunikasi ini akan menarik perhatian dan mampu mengantarkan pesan,” lanjutnya.
Tapi, menurut Firman, pada musim kampanye, perang baliho antarpolitikus akan menjadi kejenuhan bagi masyarakat. Menurutnya, pesan yang ada di baliho tidak sampai di masyarakat, tapi malah sebaliknya.
“Namun, dalam musim kampanye atau event lain, di mana terjadi kompetisi baliho, justru kejenuhan yang terjadi. Pesan memang memaksa masuk, tapi persepsi yang terbentuk bisa negatif. Masyarakat muak, dan secara sadar memilih bersikap sebaliknya dari tujuan pesan. Masyarakat menolak pesan,” ujarnya.
Firman menilai, seiring dengan perkembangan teknologi, aspek kreativitas dibutuhkan agar pemasangan baliho menjadi efektif. Lebih baik lagi, menurutnya, jika baliho itu membuat masyarakat bergerak untuk membagikan ke media sosial.
“Aspek kreativitas, misalnya, berupa tampilan unik baliho, yang membuat orang memperhatikan, memotretnya dan memuatnya di media sosial. Di sini, baliho yang kreatif mengalami alih wahana ke media lain. Lebih banyak orang yang menyimak ketika tampil di media sosial, karena ada orang ingin menceritakan keunikannya,” ucapnya.
Hal kreatif lain, menurut Firman, adalah pemasangan sensor di baliho, sehingga pesan yang ada di baliho dapat terdeteksi langsung di alat komunikasi yang dimiliki para pemakai jalan yang melewati baliho tersebut.
“Selain itu, dengan memanfaatkan teknologi, baliho bisa dipasangi sensor yang mampu merekam kartu seluler apa saja yang dipakai pengendara kendaraan, dan melewati baliho. Hasil perekaman ini bisa dianalisis: yang banyak lewat, pemakai kartu prabayar atau pascabayar? Dari operator mana? Jam berapa baliho dilewati? Berapa lama melintas di depan baliho? Sehingga, dengan data yang dipanen, dapat disusun pesan yang lebih tepat, sesuai karakter orang yang melintasinya,” lanjut Firman.
Menurut Firman, penggunaan baliho bukan lagi terkait jumlah atau di mana baliho itu terpasang. Firman mengatakan hal itu akan sia-sia.
“Jadi baliho hari ini bukan sekadar urusan kuantitas: besar, banyak, ada di mana-mana, memampangkan foto politikus atau pejabat publik. Bahkan ada baliho yang berisi imbauan dari lembaga tertentu yang panjang dan rinci. Ini pasti tak digubris pemakai jalan, karena waktu mereka yang pendek dan pesan yang membosankan,” ujarnya.
“Dengan memanfaatkan teknologi, bisa disusun pesan yang tepat, sesuai perilaku pengguna jalan. Terlebih jika baliho dapat hadir sebagai properti keindahan sebuah kota. Bukan malah merusaknya,” tuturnya.
(eva/knv)