Jakarta – Rupiah mencatat pelemahan cukup tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (1/7/2022), semakin mendekati Rp 15.000/US$. Dengan demikian rupiah mencatat pelemahan 4 hari beruntun.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah tipis 0,01% ke Rp 14.910/US$. Sempat menguat ke Rp 14.860/US$, rupiah kemudian berbalik merosot hingga 0,5% ke Rp 14.970/US$ yang merupakan level terlemah dalam lebih dari 2 tahun terakhir.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.935/US$, melemah 0,27% di pasar spot. Dalam sepekan rupiah tercatat melemah 0,61%. Selain itu, rupiah juga mencatat pelemahan 4 pekan beruntun dengan total sekitar 3,5%.
Rilis data inflasi Indonesia memberikan tekanan bagi rupiah hari ini. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono melaporkan inflasi pada Juni 2022 tercatat 0,61% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Inflasi tahun kalender adalah 3,19%
Secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi Juni 2022 berada di 4,35%. Lebih tinggi dibandingkan Mei 2022 yang 3,55% sekaligus jadi yang tertinggi sejak Juni 2017.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi secara bulanan sebesar 0,44%. Sedangkan inflasi tahunan ‘diramal’ 4,15%.
Kenaikan inflasi tersebut juga lebih tinggi dari konsensus Trading Economics sebesar 4,17%, tetapi jika dilihat inflasi inti justru lebih rendah.
BPS melaporkan inflasi inti tumbuh 2,63% (yoy) dari sebelumnya 2,58% (yoy), sementara konsensus di Trading Economics memperkirakan sebesar 2,72% (yoy).
Hal ini bisa menjadi sinyal jika daya beli masyarakat mulai tergerus akibat kenaikan inflasi, yang tentunya berdampak buruk bagi perekonomian.
Penurunan daya beli tersebut terjadi akibat inflasi kelompok volatile yang menembus 2,51% (mtm) dan 10,07% (yoy). Level tersebut menjadi yang tertinggi sejak Desember 2014 atau 7,5 tahun terakhir. Jika dilihat lagi inflasi volatile meroket di item bahan makanan yang mencapai 2,3% (mtm) dan 9,57% (yoy).
Inflasi Indonesia diperkirakan belum akan mereda pada paruh kedua tahun ini. Pemulihan ekonomi dalam negeri akan mendorong sisi permintaan sehingga tekanan inflasi, terutama inflasi inti akan meningkat.
Margo mengingatkan pemerintah juga akan menaikkan tarif dasar listrik untuk kalangan menengah ke atas mulai Juli sehingga inflasi pada kelompok harga diatur pemerintah bisa merangkak naik. Indonesia juga akan mengawali musim ajaran baru pada Juli-Agustus yang bisa mendongkrak inflasi.
Data BPS juga menunjukkan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) untuk komoditas impor dan berbahan baku impor mengalami peningkatan yang persisten. Termasuk di dalamnya adalah tepung terigu dan bubuk urea. IHPB industri mencapai 0,37% (mtm) dan 5,39 (yoy), IHPB pada pertanian 1,96% (mtm) dan 2,95% (yoy).
“Dampak dari pembatasan ekspor (sejumlah negara) sudah mulai sampai ke kita tetapi masih pada level perdagangan besar. Belum sampai ke konsumen,” tutur Margo.
Meski inflasi berisiko semakin meninggi, Bank Indonesia masih belum terburu-buru untuk menaikkan suku bunga.
“Inflasi inti rendah dan ruang BI untuk tidak buru-buru menaikkan suku bunga,” ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rapat Banggar, Jumat (1/7/2022).
BI, lanjut Perry tetap fokus dalam menjaga pertumbuhan ekonomi. Dalam hal normalisasi BI telah menempuh kebijakan kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) secara progresif.
“Suku bunga kami pertahankan sampai ada kenaikan-kenaikan inflasi yang fundamental terutama inflasi inti,” pungkasnya.
Perry juga memperkirakan kinerja rupiah akan membaik di akhir tahun ini berada di kisaran Rp 14.300US$ – Rp 14.700/US$.
Perkiraan ini ditopang oleh defisit transaksi berjalan yang rendah dan cadangan devisa yang mencukupi serta langkah kebijakan stabilitasi nilai tukar rupiah, baik di pasar spot, SBN maupun DNDF.