Banyumas Raya
Bertahun-tahun menanti, proyek pulau buatan atau reklamasi di Teluk Utara Jakarta belum juga ada kepastian. Megaproyek ini semakin tidak jelas nasibnya setelah Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, melayangkan surat pada Kementerian Agraria dan Tata Ruan agar proyek itu dihentikan karena dugaan sejumlah pelanggaran.
- Digugat konsumen soal pulau reklamasi, Anies sebut ‘salah alamat’
- Pelaporan Anies Baswedan, polisi minta pendapat saksi ahli
- Sebelum panggil Anies Baswedan, polisi periksa pelapor terlebih dahulu
Lelah menunggu tanpa kepastian, sejumlah konsumen akhirnya memilih menyelesaikan lewat jalur hukum. n
Anies tidak tinggal diam. Dia menegaskan gugatan itu salah alamat seandainya ditujukan buat dirinya. Menurutnya, keadaan yg dialami konsumen adalah urusan mereka dengan pengembang.
“Nanti kalau begitu, Anda menjalankan satu nyalahin pemerintah terus. Salah alamat itu (gugatannya),” tegas Anies pada Kamis (1/3).
Justru, kata dia, proyek reklamasi ini hendaknya menjadi pelajaran bagi konsumen yg hendak membeli satu terutama hunian bagi memastikan kelengkapan surat dan izin.
“Makanya ini jadi pelajaran. Lain kali kalau mau jualan bereskan seluruh izin. Kalau mau beli barang cek ada izinnya apa enggak,” katanya.
Pengamat tata kota, Yayat Supriyatna, menilai apa yg disampaikan Gubernur Anies sangat benar.
“Sebab segala yg ada sangkut paut dengan masalah kepastian hukum perizinan akhirnya mulai merembet pada gugatan masyarakat. Sebab mereka tak ada kepastian soal pembangunan itu. Ini pembelajaran, bahwa satu prose pembangunan itu apalagi terkait skala besar harus terlebih lalu aturan hukumnya disiapkan,” kata Yayat ketika berbincang dengan merdeka.com, Jumat (2/3).
“Inilah kesalahan lama kalian yg kadang kali malas mengurus izin karena lama, atau izin gak perlu buru-buru di awal. Itu memperlihatkan ketidaktaatan pada aturan hukum. Kalau kalian mengacu pada mekanisme perizinan, harusnya ada payung hukum dahulu baru dibuat bangunan,” sambung dia.
Dia juga menyayangkan masyarakat Indonesia tidak jarang kali teperdaya iklan dan gambar saat membeli satu termasuk hunian. “Padahal tidak jarang kali yg seperti itu banyak cacat hukum, akibatnya masyarakat tidak tahu. Dengan konsep hyper realitas, seolah-olah yg dijual telah bagus dan sangat layak, padahal izinnya enggak ada. Inikan bentuk ketidakterbukaan pengembang,” beber dia.
Meski demikian, Yayat menilai bagi menghasilkan satu yg baik Pemprov DKI harus menjembatani agar persoalan ini selesai. Karena, katanya, pembeli dalam hal ini juga menjadi korban.
“Paling tak menolong selesaikan aturan hukumannya, kalau ada masalah. Pengembang juga kalau merasa dirugikan ya buka saja. Supaya kerugian pembeli tak panjang. Atau seandainya memang tak ada hasil dengan musyawarah, bawa ke pengadilan saja. Itu win-win solution,” jelas Yayat.
Dia juga berharap pada Gubernur Anies, seandainya ingin menolong menyelesaikan persoalan lebih diperjelas seperti apa caranya.
“Sehingga dengan kebijakan baru bukan malah tambah persoalan baru. Pemerintah tak perlu takut kalau tak ada kepentingannya di dalamnya. Kalau memang akhirnya disetop, ya jelaskan salahnya di mana, selesaikan. Jangan disetop tetapi enggak masalahnya enggak tahu di mana,” kata Yayat mengakhiri. [lia]
Sumber: http://www.merdeka.com
BanyumasRaya.com