Elite Politik Diminta Berperan Perangi Hoaks, Bukan Mengompori

oleh -160 Dilihat

Banyumas Raya

JAKARTA, – Elite politik dinilai tak banyak berperan dalam memberikan edukasi kepada masyarakat agar lebih melek menerima keterangan yg benar.

Padahal, edukasi yaitu hal utama agar masyarakat tak termakan berita bohong, hoaks, dan ujaran kebencian.

“Mereka (elite politik) justru mengeksploitasi sentimen yg membuat orang lebih gampang termakan hoaks,” ujar Direktur NU Online Savic Ali, usai diskusi di Jakarta, Rabu (14/3/2018).

Menurut Savic, elite politik justru kerap jadi bagian dari kemunculan dan berkembangnya konten hoaks yg kerap memuat isu sensitif, terutama isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Perkembangan hoaks dan ujaran kebencian dianggap terjadi akibat sentimen-sentimen tertentu. Elite politik dinilai milik modal bagi mengalkulasi berbagai sentimen tersebut, dan ini juga terjadi di berbagai negara.

“Kalau dia milik sentimen negatif, politisi berjasa besar dalam konteks menciptakan yg namanya common enemy, dalam konteks sentimen membangkitkan kebencian,” kata Savic.

(Baca juga: Polri Belum Temukan Afiliasi Penyebar Hoaks dengan Organisasi Politik)

Ilustrasi hoaks atau berita palsumilindri Ilustrasi hoaks atau berita palsu

Melihat keadaan tersebut, publik dinilai tak perlu berharap banyak kepada elite politik buat ikut memerangi hoaks dan ujaran kebencian yg berkembang di media sosial.

Di tempat yg sama, pengamat politik J Kristiadi menilai, tidak gampang bagi mengidentifikasi keterlibatan partai politik dalam perkembangan hoaks dan ujaran kebencian.

Namun, J Kristiadi mengatakan, elite politik yg berkubang di dalam kekuasan dan ingin berkuasa perlu diwaspadai sebagai aktor berkembangnya hoaks dan ujaran kebencian bagi kepentingan politiknya.

Menurut Kristiadi, ada berbagai cara buat meredam hoaks. Salah satunya yakni memaksimalkan kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

“Konkretnya, kalau ada suatu hoaks harus dapat diredam real time. Klarifikasi, begini salah. Ini sangat menguntungkan sekali. Saya kira negara dapat mestinya begitu. Sementara bagi jangka panjang, melakukan kesadaran melek digital itu perlu sekali,” kata dia.

“Itu bukan hal sepele karena sekarang penegak hukum sadar betul. Ulama dan tokoh besar telah berbicara seperti itu. Polisi dan tentara kompak,” ujar Kristiadi.

(Baca juga: Polri Minta Penangkapan Kelompok Penyebar Hoaks Tak Dijadikan Polemik)

Partisan politik

Dalam sesuatu tahun terakhir, menurut Savic Ali, ungkapan ujaran kebencian berbasis agama di media sosial bukan tiba dari akun-akun yg teridentifikasi kelompok radikal atau orang fundamentalis.

Namun, sekitar 80 persen ujaran kebencian terindentifikasi tiba dari partisan poliitik. Hal tersebut yaitu penelusuran yg dikerjakan NU dengan melibatkan ribuan kata kunci, ribuan post atau status di ribuan akun Twitter dan Facebook

“Tetapi teridentifikasi berasal dari orang yg partisan politik,” ujar Savic Ali pada 21 Februari silam.

(Baca juga: Pemerintah Upayakan Teknologi Canggih bagi Tangani Penyebaran Hoaks)

Ia menuturkan, temuan penelusuran NU itu berbeda dengan tiga tahun lalu. Sebab, ketika itu ujaran kebencian terindikasi berasal dari orang-orang yg intoleran.

Akibatnya, polarisasi di masyarakat kian meruncing dan membuat eskalasi kebencian terhadap kelompok masyarakat tertentu semakin kian besar. Semua dikerjakan buat kepentingan politik tertentu.

TV Hal ini diungkap oleh ketua penasehat persaudaraan alumni 212 Kapitra Ampera.

Sumber: http://nasional.kompas.com
BanyumasRaya.com

No More Posts Available.

No more pages to load.