Bakteri penyebab difteri menyebar dengan cepat tidak hanya di daerah yang layanan kesehatannya dinilai buruk, tapi juga menyerang warga di ibu kota, yang dianggap memiliki sistem layanan kesehatan jauh lebih baik.
Sejak Januari hingga November 2017 tercatat 593 kasus difteri, tersebar di 95 kabupaten dan kota di 20 provinsi, dengan angka kematian 32 kasus. Data World Health Organization (WHO) tentang penyakit difteri menunjukkan jumlah kasus difteri di Indonesia naik turun sejak 1980-an.
Data Kementerian Kesehatan menujukkan sampai dengan November 2017, ada 95 kabupaten dan kota dari 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri. Secara keseluruhan terdapat 622 kasus, 32 diantaranya meninggal dunia.
Sementara pada kurun waktu Oktober hingga November 2017, ada 11 Provinsi yang melaporkan terjadinya KLB difteri, antara lain di Sumatra Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur.
Indonesia perlu kajian lanjut dan mempertimbangkan tinjauan tata laksana pengobatan difteri.
Yang perlu diwaspadai adalah kecenderungan jumlah kasus penyakit ini meningkat sejak 2007 (183 kasus) dan puncaknya pada 2012 (1.192 kasus). Setelah itu menurun tapi angkanya masih ratusan kasus.
DIFTERI: Adalah penyakit infeksi sangat menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium dyphteriae. Cara penularan:
– lewat udara melalui percikan ludah atau dahak penderita
– Kontak langsung dengan penderita dan benda2 yang tercemar oleh bakteri difteri
Gejala muncul 2-5 hari setelah tertular berupa:
– Demam
– Lesu
– nyeri tenggorokan, nyeri menelan, suara serak
– pembengkakan kelenjar getah bening leher
– terbentuk membran tebal abu2 menutupi tenggorokan dan tonsil (tonsil)
– Sulit bernapas, napas sesak karena saluran napas tertutup oleh bengkak dan membran
– Dapat mengenai mata, hidung, kulit.
Komplikasi:
– Kematian akibat sesak napas
– Toxin dari bakteri dapat meracuni otot jantung dan saraf sehingga terjadi radang otot jantung (miokarditis) dan neuritis (radang saraf) yang melemahkan otot jantung sehingga bisa terjadi kematian mendadak akibat gagal jantung
Diagnosis:
– Usap tenggorok untuk pemeriksaan kultur (biakan) bakteri dan pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan khusus
Pengobatan dan penanganan:
– Pembuatan lubang melalui trachea (tenggorokan) untuk membuka jalan napas yang tertutup oleh pembengkakan dan membran
– Pemberian antibiotik penisilin prokain utk membunuh bakteri
– Pemberian serum anti difteri (ADS) untuk menetralkan toxin difteri
– Mengisolasi ketat penderita di ruang isolasi khusus di RS karena penularan yang sangat tinggi
– Memberi antibiotik profilaksis (pencegahan) untuk orang2 yang kontak dengan penderita
– Pelaporan kepada dinas kesehatan setempat
Pencegahan
– Imunisasi dasar dan ulangan:
– DPT (dalam bentuk kombo DPT-HiB-Hepatitis B) pada bayi usia 2,3,4 bulan, 18 bulan dan 5 tahun
– DT untuk anak usia 5-7 tahun. Bisa didapatkan melalui program BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah) di kelas 1 SD
– dT untuk anak usia > 7 tahun hingga dewasa. Bisa didapatkan melalui program BIAS di kelas 2 dan 5 SD. Dianjurkan memakai vaksin Tdap bila memang tersedia.
– dT atau Tdap diulang setiap 10 tahun untuk remaja dan dewasa
Tujuan imunisasi adalah menimbulkan antibodi terhadap difteri sehingga bila tertular tidak menjadi sakit atau kalaupun sakit tidak terkena sakit berat/cacat/meninggal. Imunisasi akan efektif melindungi masyarakat bila >80% populasi diimunisasi, sehingga menimbulkan herd immunity (kekebalan kelompok) yang dapat melindungi individu2 yang tidak bisa diimunisasi karena usianya yang belum cukup atau yang mempunyai penyakit yang menghalangi pemberian imunisasi.
Dikutip dari berbagai sumber.