Konsumsi Protein Hewani Bisa Cegah Anak Stunting

oleh -248 Dilihat

Banyumas Raya

INILAH.COM, Jakarta – Konsumsi protein hewani mampu mencegah atau menurunkan prevalansi stunting pada anak-anak balita. Hal itu diungkapkan aAhli nutirisi Prof. Dr. dr. Damayanti R Sjarif, Sp.A(K).

“Pada tahap pemberian makanan pendamping air susu ibu (MPASI), orang tua harus memperhatikan pola asupan gizi yg seimbang, terutama buat memberikan asupan karbohidrat, lemak tinggi dan protein hewani,” kata dokter konsultan nutrisi dan penyakit metabolik anak RSCM ini dalam informasi tertulis, Jumat (20/9/2019).

Damayanti mengatakan hal itu dalam seminar Gizi Untuk Bangsa (GUB) bertemakan “Kontribusi dan Keterlibatan Stakeholders dalam Penurunan Stunting” yg diselenggarakan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Menurutnya, stunting cuma mampu teratasi selama periode 1000 hari pertama kehidupan (HPK) atau dari masa kehamilan hingga anak berusia beberapa tahun dan masa dimana otak anak berkembang pesat.

“ASI eksklusif utama diberikan selama 6 bulan pertama dan mampu diteruskan hingga anak berusia beberapa tahun,” ujarnya.

Saat ini, lanjut Damayanti, pihaknya bekerjasama dengan Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sudah mengembangkan proyek contoh aksi cegah stunting di Desa Banyumundu, Kabupaten Pandeglang, Banten. Hasilnya memamerkan adanya penurunan prevalensi stunting sebesar 8,4 persen dalam 6 bulan dari 41,5 persen menjadi 33,1 persen atau mencapai 4,3 kali lipat dari target tahunan WHO.

Seperti diketahui, stunting atau perawakan pendek pada anak akibat malnutrisi kronis masih menjadi tantangan di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) menunjukkan, prevalensi balita stunting di tahun 2018 mencapai 30,8 persen artinya 1 dari 3 balita mengalami stunting. Terlebih, Indonesia juga yaitu negara dengan beban anak stunting tertinggi ke-2 di Kawasan Asia Tenggara dan ke-5 di dunia.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yg diwakili Dr. Entos Zainal menguraikan stunting mengakibatkan kerugian negara setara Rp4 triliun per tahun atau sebesar 3 persen dari PDB, sehingga percepatan penanganan stunting tetap menjadi salah sesuatu agenda besar pemerintah.

“Untuk mencapai target capaian prevalensi stunting sebesar 19 persen di tahun 2024 tentunya bukan tugas yg mudah. Untuk itu dibutuhkan terobosan, inovasi dan kerjasama lintas sektor termasuk kerjasama dengan akademisi dan pihak swasta buat langsung menangani hal ini secara konkrit,” papar Entos.

Kondisi stunting mulai berdampak serius buat kesehatan anak baik buat jangka pendek maupun jangka panjang.

Dampak jangka pendek meliputi perkembangan tubuh anak yg terhambat, performa anak yg menurun di sekolah, peningkatan angka kesakitan dan risiko kematian.

“Sedangkan bagi dampak jangka panjang dari stunting merupakan obesitas, peningkatan risiko penyakit tak menular, bentuk tubuh pendek ketika dewasa, serta penurunan produktivitas dan kualitas hidup anak di masa mendatang, ” kata Entos.

Pada kesempatan yg sama, Dr. Marudut Sitompul dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) menyampaikan, asupan protein paling baik mampu diperoleh dari sumber protein hewani merupakan telur dan susu karena memiliki nilai cerna dan bioavailabilitas paling tinggi dan asam amino esensial lebih lengkap bagi mendukung pertumbuhan linear anak-anak.

Bertolak belakang dari fakta para ahli tentang pentingnya asupan protein hewani, pada kenyataannya asupan protein hewani pada anak-anak di Indonesia tergolong rendah.

Dalam salah sesuatu studi ditemukan bahwa asupan protein hewani yg rendah ini berkontribusi terhadap tingginya prevalensi stunting.

“Anak yg tak mengkonsumsi macam protein hewani apapun memiliki risiko lebih besar buat mengalami stunting dibandingkan dengan anak yg mengonsumsi tiga macam protein hewani merupakan telur, daging, dan susu,” terang Marudut.

Dibandingkan makanan sumber protein hewani lainnya, susu adalah yg paling erat hubungannya dengan angka stunting yg rendah karena konsentrasi plasma insulin-like growth factor (IGF-I) dan IGF-I/IGFBP-3 pada anak usia 2 tahun secara positif berkaitan dengan panjang badan dan asupan susunya.

Sayangnya, di Indonesia usia pemberian susu tergolong terlambat karena banyak setelah anak berusia lebih dari 1 tahun. Kondisi ini meningkatkan risiko stunting sebanyak 4 kali pada anak usia 2 tahun.

Sementara itu, Ahmad Syafiq, PhD, Kepala Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan FKMUI menyatakan, perlunya analisis dan pendekatan gizi kesehatan masyarakat bagi mampu secara efektif merancang program yg berbasis eviden dan berfokus pada pencegahan.

Dia menyampaikan terobosan pencegahan stunting juga perlu melibatkan semua pemangku kepentingan dan memberdayakan masyarakat agar seluruh pihak bisa terlibat secara aktif dalam upaya penurunan stunting.

“Dari kegiatan edukasi ini kita berharap mulai semakin banyak masyarakat yg menyadari pentingnya asupan protein hewani dalam upaya pencegahan stunting. Dengan pola asupan gizi yg baik, diharapkan mulai tercipta generasi yg sehat,” ujarnya.

Seminar GUB berlangsung selama 2 hari dari tanggal 20-21 September 2019 di Universitas Indonesia. Kegiatan ini diselenggarakan secara tahunan oleh Departemen Gizi FKMUI dan para alumni. [adc]
Sumber: http://gayahidup.inilah.com
BanyumasRaya.com

No More Posts Available.

No more pages to load.