Kedaulatan Desa Untuk Kedaulatan Bangsa

oleh -502 Dilihat

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 ternyata ada 83.820 desa di Indonesia dan menariknya sejak ditetapkannya program dana desa oleh pemerintah, seakan desa ini mendapat air di tengah oase.

Desa yang sebelumnya hanya mengandalkan bantuan dari pemerintahan daerah, provinsi dan pusat untuk mendevelope desanya, sekarang pemerintahan desa memiliki keleluasaan untuk menggunakan anggaran dana desa di desanya masing-masing.

Tercatat dari data kementerian Desa sejak tahun 2015 ada Rp 20,76 triliun dana desa yang digulirkan atau sekitar Rp 280,3 juta per desa. Kemudian di tahun 2016 ada Rp 46,98 triliun dana desa yang digulirkan atau sekitar Rp 643,6 juta per desa.
Pada tahun 2017 ada Rp 60 trilliun dana desa yang digulirkan atau sekitar Rp 800,4 juta per desa dan di tahun 2018 ada Rp 120 triliun dana desa yang digulirkan atau sekitar Rp 1,4 miliar per desa. Serta di tahun 2019 yang digulirkan kurang lebih Rp 1,5 miliar per desa.

Tentu ini angin segar bagi pemerintahan desa dan sekaligus juga menjadi tantangan baginya. Angin segar karena desa diberikan keleluasaan untuk mengatur dananya sendiri dengan nilai yang cukup fantastis. Dan tantangannya karena pemerintahan desa tentu dituntut untuk menciptakan dan menghadirkan kemakmuran bagi desa dan masyarakatnya.

Sejak digulirkannya program dana desa, tidak sedikit desa yang belum siap untuk mengelolanya. Hal ini dibuktikan ada beberapa kepala desa atau perangkatnya yang terjerat kasus hukum. Akan tetapi tidak sedikit juga desa yang telah berhasil membuktikan dengan adanya dana desa ini kemakmuran dan kesejahteran bisa diwujudkan di desanya.

Menurut data yang dirilis oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM), status dan sebaran desa di Indonesia dibagi menjadi lima bagian antara lain; Desa mandiri jumlahnya baru 0,23 persen, desa maju 4,83 persen, desa berkembang 30,66 persen, desa tertinggal 45,41 persen dan desa sangat tertinggal 18,87 persen.

Jika melihat data tersebut, presentase “Red Zone” pembangunan desa masih mendominasi, desa tertinggal dan desa sangat tertinggal jumlahnya masih di angka 64,28 persen. Padahal sesuai dengan amanat undang-undang menjadi harapan bersama bahwa desa mandirilah yang harus mendominasi jumlahnya.

Kuncinya adalah di innovation, yakni menciptakan kedaulatan desa dengan mengelola dana desa melalui inovasi-inovasi baru sesuai dengan perkembangan zaman. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar pemerintahan desa bisa mewujudkan kemakmurannya di desa dalam mengelola dana desa.

Pertama, mengubah mindset birokrasi dan SDM birokrat di desa selincah perusahaan-perusahaan start-up di era sekarang. Saya tidak membayangkan jika kepala desa, perangkat desa dan semua SDM yang berada di birokrasi desa memiliki mindset seperti perusahaan start-up dalam mengelola anggaran desa. Tentu akan dikelola secara profesional, inovatif program-programnya, genuine, berdampak langsung, tidak kenal lelah, progresif, persisten dan tentunya berdampak dengan cepat.

Kedua, desa harus pandai dalam membangun networking dan sekaligus membangun persepsi positif bagi desanya. Desa harus pandai membangun jejaring yang bukan hanya dalam konteks pemerintahan, akan tetapi dalam segala hal, baik ekonomi, sosial, budaya, politik, pertanian, pariwisata, pendidikan dan lain sebagainya.

Misalkan saja setiap desa bisa membangun sekolah gratis dari mulai PAUD sampai pendidikan atas yang memiliki kualifikasi internasional? atau setiap desa memiliki fasilitas pengolahan dan pemasaran hasil pertanian yang terstandart ekspor? sehingga hasil pertanian bisa dikelola dan didistribusikan sendiri ke customer oleh desa dengan standar mutu dan kualitas yang tinggi. Harga hasil pertaniannya pasti akan terstandar dan tidak merugikan petani. Tentu ini adalah kedaulatan dan kemakmuran.

Ketiga, desa harus pandai dalam melakukan mobilisasi dan orkestrasi. Di era digital sekarang ini atau biasa orang menyebut dengan era 4.0 menuju 5.0, semua orang harus adaptif dengan dunia digital. Tidak luput juga pemerintahan desa yang memiliki amanah untuk mengelola dana desa sebaik-baiknya.

Desa harus pandai dan terampil dalam memobilisasi orang untuk tahu tentang keunggulan desanya dan dia juga wajib bisa mengorkestrasi semua aktivitas kegiatan desanya yang berdampak pada penambahan pendapatan masyarakat, pengentasan kemiskinan, dan makmurnya semua orang di desa itu.

Suatu contoh sebuah desa penghasil kopi terbaik akan menjadi tidak istimewa jika tidak diorkestrasi hasil kopinya. Namun akan berbeda jika hasil perkebunan kopi dan pengolahan kopinya jika diorkestrasi dengan baik, misalkan dikemas dengan baik, dibuatkan video profilenya, dibuatkan leafletnya, dibuatkan websitenya dan diiklankan di semua platform digital, pasti berbeda hasilnya. Itulah yang dimaksud dengan mobilisasi dan orkestrasi.

Desa mandiri adalah desa yang berdaulat. Berdaulat Sumber Daya Manusianya (SDM), berdaulat ketahanan sosialnya, berdaulat ekologinya dan berdaulat ekonominya. Oleh karenanya dibutuhkan penangan yang serius terhadap kedaulatan desa ini, karena miniatur kemajuan sebuah bangsa terletak pada seberapa majunya desa-desanya.

Tiga elemen mendasar dalam membangun kedaulatan desa di atas adalah modal dasar mindset yang harus dimiliki oleh setiap desa di Indonesia agar indeks desa membangunnya didominasi oleh kategori desa mandiri. Kedaulatan desa adalah cerminan dari kedaulatan bangsa dan negara, sebagaimana ungkapan Mohammad Hatta bahwa “Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta, tapi ia akan bercahaya karena lilin-lilin di Desa.”(*)

No More Posts Available.

No more pages to load.